Gagasan

Jihad dan Rekayasa Islamophobia

Gambar dari Canva (ilustrasi)

*Oleh : Yandi Novia

Bulan Juni 2019 yang lalu Kalimantan Tengah dihebohkan dengan adanya penangkapan terduga teroris di beberapa tempat berbeda oleh Densus 88 dan Polda Kalteng. Terduga teroris ini merupakan kelompok Uzla pimpinan Abu Hamzah jaringan Jamaah Ansharud Daulah (JAD).

Makna jihad bagi JAD memang disalahartikan, padahal jika kembali pada jihad sesungguhnya pada masa Rasulullah sejatinya berdekatan dengan upaya untuk menuntaskan kemiskinan atau merebut kembali harta yang seharusnya menjadi haknya. Dan tidak dibenarkan sama sekali melalukan peperangan di negara damai.

Salah satu strategi teroris dalam melancarkan aksinya adalah dengan propaganda rekayasa Islamophobia. Karena jika rakayasa ini kemudian mempengaruhi masyarakat, maka konflik-konflik akan terjadi. Sehingga konflik inilah yang kemudian dijadikan sebagai momentum untuk melancarkan aksi mereka yang lebih besar.

Abdel-Hady pada acara International Conference On Muslim and Islam 21st Century: Image and Reality”  menyebutkan bahwa Islamophobia tidak dapat dipisahkan dari problema prasangka terhadap orang muslim dan orang yang dipersepsi sebagai muslim. Prasangka anti muslim didasarkan pada sebuah klaim bahwa Islam adalah agama “inferior” dan merupakan ancaman tehadap nilai-nilai yang dominan pada sebuah masyarakat.

Selama beberapa tahun terakhir, Kalimantan Tengah memang tidak pernah dihantam isu adanya gerakan terorisme. Walaupun demikian, aksi dan gerakan pencegahan terhadap gerakan terorisme dan radikalisme sangat massif dilakukan oleh semua elemen masyarakat terutama Aparat Kepolisian. Kondisi aman dan kondusif ini yang mungkin kemudian ingin dimanfaatkan oleh sekelompok teroris untuk merancang gerakannya.

Propaganda-propaganda gerakan terorisme memang harus sedini mungkin diantisipasi, terutama maraknya propaganda yang terjadi di media sosial. Perlu diketahui bahwa salah satu terduga teroris dari kelompok jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) di Kota Palangka Raya mengenal kelompok dan ajarannya melalui media sosial. Otaknya kemudian dicuci, prilakunya kemudian berubah menjadi prilaku yang ekstrim terhadap pandangan agama, seperti mudah mengkafirkan sesama Islam dan orang lain yang berbeda pemahaman dengannya. Kemudian dari segi sosial, pribadinya lebih suka menyendiri dan tidak mau bergaul dengan orang lain selain kelompoknya.

Makna jihad yang salah diinterpretasi oleh Kelompok Teroris merupakan gerakan rekayasa Islamophobia yang ingin ditampakkan kepada masyarakat. Hingga akhirnya, ketika aksi ini telah masuk dalam pemahaman masyarakat maka kemungkinan konflik akan terjadi. Kelompok teroris akan mengambil manfaat disini, dengan berkedok konflik ini mereka dengan serta-merta membenarkan aksi radikalisme yang berujung pada Bom bunuh diri.

Menurut Din Syamsuddin Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia mengomentari insiden serangan bom bunuh diri menghantam tiga gereja di Kota Surabaya mengatakan bahwa aksi teroris ada skenario ingin mengadu domba antar umat beragama, khususnya umat Nasrani dan umat Islam. Oleh karena itu semua elemen masyarakat harus tenang dan menahan diri.

Jika semua pihak mampu menahan diri maka konflik tidak aka terjadi. Sehingga rekayasa dan skenario yang dilancarkan kelompok teroris tidak mampu mempengaruhi stabilitas sosial masyarakat.

Di tahun 2017, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menanggapi meluasnya Islamophobia di Amerika dan Eropa akibat adanya rasa takut masyarakat yang menyamakan Islam dengan terorisme. Menurutnya, Islamophobia dapat menjadi pemicu terorisme, sebab secara berproses akan ada ekspresi, kebijakan, dan perkataan kebencian yang berbau Islamophobia di berbagai belahan dunia. Hal ini menurutnya menjadi pemicu bagi kelompok teroris seperti ISIS untuk meneruskan propaganda dengan kedok Negara Islamnya.

Ibnu Nadzir seorang peneliti dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menjelaskan bahwa Islamophobia bisa bertahan sampai sekarang salah satu alasannya karena ada organisasi teror yang menggunakan identitas Islam masih ada, maka Islamophobia akan tetap dialami masyarakat di sejumlah Negara.

Sehingga menurutnya, ketika pengaruh Islamophobia menjadi besar maka masyarakat cenderung memilih kembali pada ikatan primordialnya. Rasa aman dan nyaman hanya akan didapat ketika orang satu identitas dengannya, berwarna kulit sama, Negara yang sama. Maka yang terjadi berikutnya, kecenderungan untuk mulai sering menyalahkan kelompok asing atau berbeda pandangan akan terjadi.

Pendapat itu, juga senada dengan riset yang dilakukan oleh Henk Dekker dan Jolanda Van der Noll pada tahun 2007 di Belanda dengan judul “Islamophobia and its origins: A Study Among Dutch Youth, menyebutkan bahwa Islamophobia sebagai sikap dan tingkah laku negatif masyarakat terhadap Islam dan Penganutnya. Sikap negative itu misalnya, dari keengganan memiliki tetangga Muslim, tidak percaya dengan temannya yang muslim, hingga tidak mau berteman dengan penganut agama Islam.

Bagaimana di Kalimantan Tengah?

Salah tempat jika kelompok teroris menganggap rekayasa Islamophobia bisa dilakukan di Bumi Tambun Bungai ini. Buktinya, dengan ditangkapnya jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) tidak kemudian berdampak pada pemahaman keagamaan bagi masyarakat Kalimantan Tengah pada umumnya. Tidak ada saling tuding dan saling singgung antar masyarakat yang berbeda keyakinan. Semua saling menjaga antara satu dengan lainnya.

Bahkan tidak berdampak pada prilaku masyarakat, seperti pada penelitian di atas. Kalimantan Tengah dengan filosofi Budaya Betang-nya, tidak mudah digoyahkan oleh rekayasa Islamophobia yang kelompok teroris lakukan. Propaganda-propaganda ketakutan terhadap Islam yang ingin mereka tampakkan tidak mampu menerobos masuk dalam wilayah Budaya Betang tersebut. Filosofi Budaya Betang sudah final dalam membahas Islam Rahmatan lil alamin, begitu juga dengan masyarakat Kalimantan Tengah, rekayasa Islamophobia yang ingin dilakukan oleh kelompok terorisme ditanggap begitu tenang oleh masyarakat, karena begitu banyak gambaran rumah ibadah yang berdampingan seperti masjid yang berdampingan dengan gereja, hal ini cukup menjadi simbol bahwa rekayasa Islamophobia oleh kelompok teroris salah tempat.

Kesiapsiagaan dari aparat kepolisian-pun menjadi nilai lebih yang menjadi pembicaraan hangat netizen Kalimantan tengah. Pasalnya, kelompok terduga teroris ini tidak nampak oleh masyarakat biasa, baik gerak-geriknya maupun gerakan yang sedang coba mereka bangun. Namun berbeda dengan aparat kepolisian, deteksi dini telah dilakukan, pengintaian sudah berlangsung sejak enam bulan lalu saat kawanan tersebut masih di Aceh hingga mereka berpencar ke Medan, Makasar, lalu ke Palangka Raya dan Gunung Mas.

Selain itu, Gubernur Kalimantan Tengah Sugianto Sabran menghimbau kepada semua lapisan masyarakat agar ikut terlibat dalam pencegahan dini aksi terorisme dengan cara lebih waspada dan ikut menjaga seta memantau keberadaan orang-orang baru di wilayah tempat tinggal masing-masing.

Meluruskan Makna Jihad

Perlu diluruskan bahwa membunuh dalam Islam adalah termasuk dosa besar. Dalam al-Qur’an dikatakan, “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya” (QS: Al-Maidah: 32). Ayat ini adalah salah satu contoh kecaman Islam atas setiap pembunuhan yang dilakukan dengan semena-mena.

Bahkan tidak ada satupun agama di dunia ini yang menghalalkan pembunuhan, karena sejatinya tujuan agama adalah untuk perdamaian, menyebarkan kasih sayang, dan mengatur semua tatanan sosial masyarakat agar menjadi lebih baik.

Makna jihad menurut Prof. Dr. Syekh Ahmad ath-Thayyib dalam bukunya Jihad Melawan Teror memberikan penjelasan sejelas-jelas apa itu Jihad sesungguhnya dalam Islam. Menurutnya jihad dalam Islam disyariatkan untuk melindungi jiwa, agama dan Negara. Namun konsep jihad sering diselewengkan oleh kelompok-kelompok bersenjata, ekstrem, dan sektarian. Beberapa kelompok tersebut menganggap bahwa membunuh siapa saja yang mereka kehendaki adalah Jihad. Padahal menurut beliau, pemahaman tersebut merupakan salah satu kesalahan terbesar dalam memahami syariat Islam.

Oleh karena itu perlu disimpulkan bahwa, gerakan jihad sesungguhnya adalah menuntaskan masalah kemiskinan, merubah prilaku masyarakat yang tidak baik menjadi baik, mempererat persaudaraan dan kesatuan antar sesama. Menjaga kedaulatan bangsa dan negara, sehingga tidak mudah terombang-ambing dan diadu-domba oleh paham-paham radikal dan terorisme. Jihad sesungguhnya adalah gerakan untuk melawan sikap, prilaku dan gerakan terorisme itu sendiri, bukan jihad sebagai bungkus untuk membenarkan aksi terorisme.

Terakhir perlu dipertegas, salah tempat jika upaya rekayasa Islamophobia yang ingin dilakukan oleh kelompok terorisme berada di Bumi Tambun Bungai ini. Aksi propaganda, aksi anti Islam, membuat kegaduhan serta konflik antara agama yang ingin mereka lakukan tidak mengubah komitmen Filosofi Budaya Betang yang sudah tertanam di masyarakat. Karena masyarakat sudah paham dan mengerti makna dan cara menerapkan dalam kehidupan sehari-hari tentang Filosofi Budaya Betang. Kalimantan Tengah beruntung, sikap cepat dan tepat aparat dalam menangkap terduga teroris, sehingga tidak berujung pada aksi yang lebih besar dari kelompok terduga teroris yang tidak diinginkan oleh masyarakat.

*(Blogger Kalteng, Penggiat Media Sosial. Wakil Ketua Bidang Media Dan Komunikasi PD Pemuda Muhammadiyah Kota Palangka Raya)

Tag:

Artikel Terkait:

Satu tanggapan untuk “Jihad dan Rekayasa Islamophobia”

Tinggalkan komentar: