Masuk ke lingkar tongkrongan,
dia bawa meteran warisan,
bukan buat tembok atau lemari,
tapi buat ngukur otak dan nyali.
Menurutnya:
jika tak seperti dia, berarti salah.
Kalau tak satu frekuensi,
maka tak layak ikut selfie.
“Semua harus bisa berenang!” katanya,
padahal di situ ada ayam, kambing,
dan satu dua manusia yang cuma mau duduk santai
sambil seruput kopi.
Dia pakai standar hidupnya
untuk nilai isi hidup orang lain,
padahal hidupnya sendiri
masih nyicil kepercayaan diri.
Lucu juga.
Yang datang buat senang,
malah disidang.
Yang mau nimbrung,
malah dibedah latar belakang.
Oh iya, katanya sih demi kebaikan,
tapi kenapa baunya kayak arogansi yang dikemas rapi?
Ingat, kawan!
tak semua orang pakai pikiranmu sebagai kitab suci.
Ada yang hidup tenang
tanpa perlu diservis oleh logika milikmu.
Dan satu lagi,
kalau kau hobi nyolek urusan pribadi,
harap maklum jika nanti jiwamu disunat empati.
Palangka Raya,
2 Mei