Prolog: Ketika Meteran Moral Muncul di Tengah Tawa
Awalnya, ini hanyalah sebuah perjalanan biasa, bukan ziarah intelektual, bukan ekspedisi ilmiah, apalagi konferensi akademik. Ini sekadar kumpul-kumpul: beberapa orang yang ingin melepas penat, berbagi cerita, dan menikmati kebersamaan tanpa beban. Tapi ternyata, di antara gemericik tawa dan hiruk-pikuk obrolan, seseorang membawa serta sesuatu yang tak diduga: sebuah meteran tak kasat mata.
Bukan meteran untuk mengukur panjang jalan yang di tempuh, bukan pula alat ukur untuk menakar seberapa enak kopi yang kami minum. Ini meteran yang jauh lebih abstrak, dan jauh lebih menusuk. Sebuah alat pengukur yang, entah sejak kapan, menjadi standar mutlak baginya untuk menilai siapa yang “layak” dan siapa yang “kurang”.
Dan si Lalang, tanpa persiapan apa pun, tiba-tiba menjadi objek pengukurannya.
Bab 1: “Kamu Saja yang tidak bisa berenang di Sini”
Suasana sedang santai. Kopi kedua baru saja datang, obrolan mengalir dari topik cuaca, awal mula kehidupan, duluan ayam apa telur, hingga rencana liburan. Tiba-tiba, seperti petir di siang bolong, si Paling Hebat, sebut saja begitu. Melontarkan kalimat yang mengubah segalanya:
“Hei si Lalang, kamu saja yang tidak bisa berenang di sini.”
Kalimat itu tergantung di udara, seolah menunggu reaksi. Si Lalang terdiam. Bukan karena tersinggung, tapi lebih karena bingung: Apa hubungannya bisa berenang dengan obrolan kopi sore ini?
Memang benar, Lalang tidak bisa berenang. Tapi apakah itu membuat ceritanya kurang layak didengar? Apakah itu membuat tawaku kurang pantas untuk ikut bergema? Atau apakah itu berarti aku tak berhak duduk di sini, di antara orang-orang yang kebetulan hebat dan mahir berenang? Pikir si Lalang.
Si Paling Hebat tersenyum, sambil menghisap rokoknya. Mungkin dia mengira itu hanya candaan. Tapi ada sesuatu dalam nada suaranya, sedikit merendahkan, sedikit patronizing, yang membuat si Lalang merasa seperti sedang dihadapkan pada sebuah pengadilan kecil. Pengadilan di mana “bisa berenang” menjadi satu-satunya bukti yang diterima.
Bab 2: Standar Ganda dan Meteran yang Tak Pernah Adil
Ini bukan pertama kalinya Lalang menghadapi situasi seperti ini. Di banyak tempat, di banyak kesempatan, selalu ada orang yang merasa berhak mengukur orang lain berdasarkan standarnya sendiri.
- “Kamu belum menikah di usia segini? Kok bisa?”
- “Kamu masih kerja di situ? Gaji segitu cukup?”
- “Kamu nggak kuliah? Nanti mau jadi apa?”
Pertanyaan-pertanyaan itu seolah mengatakan: “Kamu tidak sesuai dengan ukuranku, jadi kamu salah.”
Tapi siapa yang memberi mereka hak untuk menentukan standar?
Si Paling Hebat tadi, misalnya. Dia mengukur segala sesuatu dengan “bisa berenang”. Baginya, dunia ini seperti laboratorium raksasa di mana setiap orang harus memenuhi kriteria tertentu untuk dianggap “valid”. Tapi di luar laboratoriumnya, ada ayam yang bahagia berkotek tanpa pernah peduli pada indeks H-index. Ada kambing yang puas merumput tanpa pernah memikirkan apakah rumput itu sudah peer-reviewed.
Dan ada seperti si Lalang, yang hanya ingin menikmati percakapan tanpa harus membawa nilai apapun kecuali seruput kopi dan candaan tanpa arti.
Bab 3: Satire untuk Si Pemegang Meteran
Mungkin mereka perlu diingatkan dengan sedikit satire.
Hebat kali kau
Masuk ke lingkar tongkrongan,
bawa meteran warisan,
bukan buat tembok atau lemari,
tapi buat ngukur otak dan nyali.
Menurutnya:
jika tak seperti dia, berarti salah.
Kalau tak satu frekuensi,
maka tak layak ikut selfie.
“Semua harus bisa berenang!” katanya,
padahal di situ ada ayam, kambing,
dan satu dua manusia yang cuma mau duduk santai
sambil seruput kopi.
Dia pakai standar hidupnya
untuk nilai isi hidup orang lain,
padahal hidupnya sendiri
masih nyicil kepercayaan diri.
Lucu, bukan? Orang yang datang untuk bersenang-senang malah disuruh mengisi kuesioner kepribadian terlebih dahulu.
Bab 4: Ketika Kebenaran Menjadi Senjata
Lalang pun mengerti, mungkin apa yang dikatakan si Paling Hebat itu benar. Dia memang tidak bisa berenang. Tapi kebenaran seperti apa yang diungkapkannya?
Kebenaran yang disampaikan tanpa empati hanya akan menjadi senjata. Seperti pisau bedah yang digunakan bukan untuk menyembuhkan, tapi untuk melukai.
Ali bin Abi Thalib pernah berkata:
“Jangan menjelaskan tentang dirimu kepada siapapun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu. Dan yang membencimu tidak percaya itu.”
Mungkin itu jawabannya. Lalang tidak perlu membela diri, tidak perlu menjelaskan mengapa dia tidak bisa berenang, tidak perlu membeberkan alasan-alasan yang hanya akan dianggap sebagai pembenaran.
Biarkan saja meteran-meteran itu tetap berada di tangan pemiliknya. Dia punya alat ukur sendiri.
Bab 5: Pelajaran dari Perjalanan yang Tidak Pernah Tertulis
Perjalanan ini mengajarkan Lalang beberapa hal:
- Tidak Semua Kebenaran Perlu Diucapkan
Benar bahwa Lalang tidak bisa berenang. Tapi apakah itu relevan dengan obrolan kopi saat itu? Tidak. Kadang, kita perlu menyaring mana kebenaran yang perlu dibagikan dan mana yang hanya akan menjadi bumerang. - Standar Orang Lain Bukan Kitab Suci
Hidup ini bukan ujian yang harus dijawab sesuai kunci milik seseorang. Jika ada yang mengukurmu dengan meterannya sendiri, ingatkan dia bahwa dunia ini terlalu luas untuk hanya diukur dengan satu alat. - Empati Itu Penting
Sebelum mengungkit sesuatu yang personal, tanyakan dulu: “Apakah ini akan membuat obrolan lebih baik? Atau hanya akan membuat satu orang merasa kecil?” - Terkadang, Diam Adalah Jawaban Terbaik
Seperti Buya Hamka yang hanya berkata “Saya minta maaf” ketika difitnah, dia belajar bahwa tidak semua serangan perlu dibalas.
Pada saatnya, Lalang akan membuktikan bahwa standar si Paling Hebat tidak akan berguna, dan dia akan melampaui. Tunggu saja.
Tinggalkan komentar: